
Kalau mnrt sy sih hasil survei LiSI kmrn itu sdh konstitusional. Soal bayar berbayar, blm nemu surveyor yg bisa biayai diri sendiri.

Hasil survei LiSI kmrn bisa diperdebatkan. Juga metodologinya. Tp soal partai yg disorot adalah yg punya peluang ajukan Capres: tepat.

Jauh2 hari stlh Pilpres 2009 sy sdh nulis ttg pentingnya revisi UU Pilpres. Pengalaman Golkar thn 2009 menyakitkan: harus koalisi.

Usulan sy dulu: angka Parliamentary Threshold = Presidential Threshold. Sudah berbusa-busa bicara di saat situasi politik lg hening.

Skrg baru rame2 persoalkan, knp yg disurvei hanya yg potensial ajukan Capres. Itu karena lbh suka menumpuk pekerjaan di satu waktu.

Jadi, pengennya skrg, pertandingan sudah dimulai, aturan permainan diubah. Sah2 sj sih. Tp begini terus berulang-ulang kan capek jg?

Bola skrg ada di tangan Fraksi Partai Demokrat terkait revisi UU Pilpres. FPG dan FPDIP sptnya ada dlm posisi wait and see aja.

Nah, kalau ada revisi paket UU politik, biasanya yg menonjol adalah kepentingan masing2 fraksi dlm regulasi yg dibuat. Dimana-mana begitu.

Etika dalam menyikapi hasil survei: adakan survei tandingan. Itu saja. Analisa apapun tanpa data pembanding, berbual-bual aja itu.

Track record lembaga2 survei? Ada di benak kita semua. Fundingnya? Tanya PPATK aja. Hanya CSIS yg berani survei tanpa sponsor awal.

Jadi, paradekan saja hasil2 survei dari lembaga2 yg berbeda di publik. Lalu lakukan lagi 4 bulan ke depan. Begitu seterusnya.

Anda teriak2 juga sekeliling dunia, tetap saja suara anda hanya satu sample dari sekian byk populasi dlm survei. So? Survei lg aja. Gitu.

Survei sy menempatkan sy pada posisi nomer 3. Biasa aja. Terlalu simplistis berpikir begitu. Byk surveyor yg sudah PhD lho | @bang_is

Sy tak mau bahas persepsi tweeps ttg lembaga survei. Bagi sy, survei itu data yg lbh scientific ketimbang busa kata.

Bbrp calon kepala daerah pakai lbh dari satu lembaga survei. Membandingkan secara periodik. Ada yg pakai sampai 3-4-5 lembaga.

Soal ada kartelisasi di dunia persurveian, itu soal lain. Soal ada interviewer yg mengisi quisioner di bawah pohon, itu soal lain lg.

Sama dg sejarah. Sejarawan mengumpulkan fakta2, lalu menganalisanya. Tp apa fakta2nya berubah? Tdk. Tetap. Fakta dg analisa itu beda.

Ada fakta di buku harian. Ada yg tersimpan di sebuah foto. Ada tiket pesawat. Ada rmh makan. Utk jd cerita? Tugas yg merekonstruksinya.

Hasil survei dg survei yg dirilis tentu beda maknanya. Hasil survei itu cocok utk jam dan tanggal survei diadakan. Bisa beda di jam lain.

Populasi yg diwakili dlm survei adalah populasi dlm jarak tgl pertama sampai terakhir survei itu. Kalau disurvei besok pagi? Bisa beda.

Responden yg sama bila diwawancarai dua kali saja di jam yg berbeda, bisa berbeda hasilnya. Jadi, utk apa misuh2 kalau anda ilmuwan?

Kalau surveinya pakai 15.000 responden, dg metode wwcr by phone lewat buku tlp, dg hanya 1.500 responden tatap muka: beda hasilnya.

Apa yg 15.000 responden by phone lbh akurat menggambarkan populasi drpd 1.500 responden tatap muka? Ini debat metodologi namanya.

Jd, kalau ada yg bilang parpol gagal lakukan pendidikan politik. Sy jg mau bilang: surveyor gagal lakukan pendidikan survei :D